Kvshodo: Bolehkah Hadits Doif digunakan

Bolehkah Hadits Doif digunakan


Para ulama Ahli Hadits berusaha mengumpulkan dan membukukan hadits-hadits lemah dan palsu dengan tujuan agar kaum Muslimin berhati-hati dalam membawakan hadits yang disandarkan kepada Nabi صلی الله عليه وسلم dan agar tidak menyebarluaskan hadits-hadits itu hingga orang menyangkanya sebagai sesuatu yang shahih padahal tidak, bahkan ada maudhu’ (palsu). Kendatipun sudah sering dimuat dan dijelaskan tentang kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits itu, akan tetapi masih saja kita lihat dan kita dengar para da’i, muballigh, ustadz, ulama, kyai membawakan dan menyampaikan hadits-hadits tersebut, bahkan banyak pula yang ditulis dalam kitab atau majalah, hingga kebanyakan kaum Mus-limin menyangkanya sebagai sabda-sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang benar dan shahih.

Oleh karena itu, saya awali tulisan ini dengan ancaman Rasulullah صلی الله عليه وسلم terhadap orang-orang yang berdusta atas nama beliau صلی الله عليه وسلم, kemudian diikuti dengan pendapat-pendapat para ulama tentang penggunaan hadits-hadits dha’if.

ANCAMAN BERDUSTA ATAS NAMA RASULULLAH صلی الله عليه وسلم
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

[1] “Artinya : Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka.”

Hadits ini berderajat MUTAWATIR, karena menurut penyelidikan hadits ini diriwayatkan lebih dari 60 (enam puluh) orang Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim jami’an, di antaranya adalah:
1. Abu Hurairah رضي الله عنه.
2. Anas رضي الله عنه.
3. Zubair رضي الله عنه.
4. ‘Ali رضي الله عنه.
5. Jabir رضى الله عنهما.
6. Salman al-Farisi رضي الله عنه.
7. Abu Dzarr رضي الله عنه dan lainnya.

Dan hadits di atas pun telah dicatat oleh lebih dari 20 (dua puluh) Ahli Hadits, di antaranya: Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimy, dan lainnya.

Di antara hadits-hadits tersebut adalah:

[2]. Dari ‘Ali, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah j, ‘Janganlah kamu berdusta atas (nama)ku, karena se-sungguhnya barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka pasti ia masuk Neraka.’” [HSR. Ahmad (I/83), al-Bukhari (no. 106), Muslim (I/9) dan at-Tirmidzi (no. 2660)]

[3]. Dari Mughirah رضي الله عنه, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم: Se-sungguhnya berdusta atas (nama)ku tidaklah sama seperti berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendak-lah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka.” [ HSR. Al-Bukhari (no. 1291) dan Muslim (I/10), diri-wayatkan pula semakna dengan hadits ini oleh Abu Ya’la (I/414 no. 962), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah dari Sa’id bin Zaid.)]

Maksud berdusta atas nama Rasulullah صلی الله عليه وسلم itu ialah: “Membuat-buat omongan atau cerita dengan sengaja yang disandarkan atas Rasulullah صلی الله عليه وسلم, lalu ia mengatakan: ‘Bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم pernah bersabda atau mengerjakan begini dan tidak mengerjakan hal yang demikian.’”

Orang yang berdusta dengan sengaja atas nama Nabi صلی الله عليه وسلم akan masuk api Neraka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum Muslimin untuk ber-hati-hati jangan sampai terjatuh dalam dusta atas nama Nabi صلی الله عليه وسلم.

Para ulama telah sepakat tentang haramnya memba-wakan hadits-hadits maudhu’ (palsu), yakni hadits yang dibuat orang atas nama Nabi صلی الله عليه وسلم, dengan sengaja maupun tidak sengaja. Bolehnya mem-bawakan hadits maudhu’ itu hanya ketika menerangkan kepalsuannya kepada ummat, agar ummat selamat dari berdusta atas nama Nabi صلی الله عليه وسلم.

HADITS DHAIF (LEMAH)
Hadits dha’if itu ada dua macam:

a. Hadits yang sangat dha’if.
b. Hadits yang tidak terlalu dha’if.

Tidak ada perselisihan di antara para ulama dalam menolak hadits yang terlalu dha’if. Hanya ada perselisihan di antara ulama tentang membawakan/memakai hadits yang tidak terlalu dha’if untuk:

1. Fadhaa-ilul A’maal (keutamaan amal), maksudnya hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan- keuta-maan amal.
2. At-Targhiib (memotivasi), yakni hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji pahala dan Surga.
3. At-Tarhiib (menakuti), yakni hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
4. Kisah-kisah tentang para Nabi ‘alaihimush Shalatu wa sallam dan orang-orang shalih.
5. Do’a dan dzikir, yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.

ANCAMAN BAGI ORANG YANG MEMBAWAKAN HADITS DHAIF

Para ulama yang masih membawakan hadits-hadits dha’if dan menyandarkannya kepada Nabi صلی الله عليه وسلم tergolong sebagai pendusta, kecuali apabila mereka tidak tahu.

Tentang masalah ini, Syaikh Abu Syammah berkata: “Perbuatan ulama yang membawakan hadits-hadits dha’if adalah suatu kesalahan yang nyata bagi orang-orang yang mengerti hadits, ulama’-ulama’ ushul dan pakar-pakar fiqih, bahkan wajib atas mereka untuk menerangkannya jika ia mampu. Jika ulama’ tidak mampu menerangkan-nya, maka ia termasuk orang-orang yang diancam oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم dengan sabdanya:

[4]. Dari Samurah, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم: ‘Barangsiapa yang menyam-paikan hadits dariku, dia tahu bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah seorang pendusta.’” [HR. Muslim (I/9).]

Syaikh Abu Syammah berpendapat bahwa tidak boleh menyebutkan suatu hadits dha’if melainkan ia wajib me-nerangkan kelemahannya. [Lihat al-Baits ‘ala Inkari Bida’ wal Hawadits (hal. 54) dan Tamaamul Minnah fiit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 32-33.]

Penjelasan:
Menurut hadits di atas seorang dianggap dusta apa-bila ia membawakan hadits-hadits yang diketahuinya dusta (tidak benar).

Ada dua golongan ulama yang terkena ancaman hadits Rasulullah صلی الله عليه وسلم di atas, yaitu: Ulama yang tahu ke-dha’if-an hadits dan yang tidak tahu. Dalam masalah ini ada dua hukum:

Pertama : jika ulama, ustadz atau kyai tersebut tahu tentang lemahnya hadits-hadits yang dibawakan itu, te-tapi ia tidak menerangkan kelemahannya, maka ia ter-masuk pendusta (curang) terhadap kaum Muslimin dan termasuk yang diancam oleh hadits Rasulullah صلی الله عليه وسلم di atas.

Imam Ibnu Hibban berkata: “Di dalam kabar ini (hadits Samurah di atas), ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang yang menyampaikan hadits atau meriwayat-kannya yang tidak sah dari Nabi صلی الله عليه وسلم yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang lemah atau yang diada-adakan oleh manusia sedang dia tahu bahwa itu dusta, maka dia termasuk pendusta, hal ini lebih keras lagi apabila ulama (ustadz, kyai-pent) tersebut yakin bahwa itu dusta tapi masih disampaikan juga. Hadits ini juga terkena kepada orang yang masih meragukan ke-shahih-an atau kelemahan apa-apa yang ia sampaikan atau riwayatkan.” [Lihat adh-Dhua’faa oleh Ibnu Hibban (I/7-8).]

Imam Ibnu Abdil Hadi menukil perkataan Ibnu Hibban ini dalam kitab ash-Sharimul Mankiy (hal. 165-166) dan beliau menyetujuinya.

Kedua : jika si ulama, ustadz atau kyai tidak mengetahui kelemahan hadits (riwayat), tetapi dia masih menyampai-kan (meriwayatkan) juga, maka dia termasuk orang-orang yang berdosa, karena dia telah berani menisbatkan (me-nyandarkan) hadits atau riwayat kepada Nabi j tanpa ia mengetahui sumber hadits (riwayat) itu.

Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
[5]. Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Telah bersabda Ra-sulullah صلی الله عليه وسلم, ‘Cukuplah seo-rang dikatakan berdusta apabila ia menyampaikan tiap-tiap apa yang ia dengar.’” [HSR. Muslim (I/10).]

Allah سبحانه و تعالى telah berfirman:

“Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mem-punyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-an jawabnya.” [Al-Israa’: 36]

Imam Ibnu Hibban berkata dalam kitab adh- Dhu’afa’ (I/9): “Di dalam hadits ini (no. 5) ada ancaman bagi se-seorang yang menyampaikan setiap apa yang dia dengar sehingga ia tahu dengan seyakin-yakinnya bahwa hadits atau riwayat itu shahih.” [Lihat Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘alaa Fiqhis Sunnah hal. 33.]

Imam an-Nawawi pernah berkata: “Bahwa tidak halal berhujjah bagi orang yang mengerti hadits hingga ia tidak tahu, dia harus bertanya kepada orang yang ahli.” [Lihat Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits hal. 115 oleh Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, tahqiq dan ta’liq Muhammad Bahjah al-Baithar]

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

Dengan klik iklan ini berarti antum telah ikut berpartisipasi

loading...