Kaidah Emas di Dalam Mengetahui
Riwayat Hadits Shahih dan Dha'if
-Kaidah di dalam Menghukumi Suatu
Hadits-
الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه
أجمعين ، أما بعد:
Segala puji
hanyalah milik Alloh Pemelihara Alam Semesta, Sholawat dan Salam semoga
senantiasa terlimpahkan atas Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh
sahabat beliau. Adapun setelah itu :
Berikut ini
merupakan kaidah-kaidah yang mesti dilalui oleh seorang peneliti hadits atau
pengkritik (nuqad) ketika menghukumi suatu hadits akan keshahihan atau
kedha’ifannya.
Ketahuilah
–semoga Alloh merohmatiku dan anda- bahwa menghukumi suatu hadits, baik itu
keshahihan atau kedha’ifannya, melalui dua cara :
Cara Pertama
: menghukumi
sanad zhahirnya saja tanpa menilai matannya.
Cara kedua : menghukumi sanadnya secara bathin1, dimana di sini matannya juga dihukumi (atau
dengan kata lain, menghukumi hadits secara keseluruhan).
I.
Cara Pertama : Menghukumi Sanad
Secara Zhahir-
Ada 5 hal di
dalam menghukumi sanad secara zhahir :
Pertama : Membedakan seorang perawi dengan
perawi lainnya.2
Untuk mengetahui seorang perawi ada
beberapa jalan, diantaranya :
1. Murid perawi tersebut yang
menjelaskannya yang tidaklah terancukan (karena keserupaan) dengan perawi
lainnya, seperti Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain yang berkata : Menceritakan
kepada kami Sufyan bin ’Uyainah,....
2. Dari jalan riwayat murid-murid
seorang perawi dan guru-gurunya di dalam sanad yang dapat diketahui secara
galibnya3.
3. Seorang perawi yang diketahui dengan
mulazamah (menekuni) gurunya, maka apabila perawi itu memubhamkan (menyamarkan
sebagian identitas) gurunya, dapat diketahui bahwa ia adalah guru perawi yang
terbedakan (dengan lainnya), dan apabila tidak maka ia adalah orang lain.
Misalnya, Abu Nu’aim apabila
meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri tidaklah menasabkannya (kepada
ats-Tsauri,pent) namun apabila meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, beliau
menyebutkannya4.
Contoh berikutnya, Sulaiman bin
Harb, apabila meriwayatkan dari Hammad bin Zaid tidak menasabkannya, namun
apabila meriwayatkan dari Hammad bin Salamah beliau menasabkannya5.
5. Adanya seorang imam mu’tabar
(terkenal) yang menegaskan bahwa perawi ini adalah Fulan, dari segi tidak ada
orang lain yang serupa dengannya. Contohnya : apabila didapatkan di dalam isnad
Abu Dawud –misalnya- ada perawi yang mirip dengan selainnya, imam ini8 akan menunjukkan bahwa perawi yang mirip
dengannya tidaklah dikeluarkan oleh Abu Dawud.
6. Merujuk kepada kitab-kitab
al-Muttafaq wal Muftariq9,
kitab-kitab al-Mu’talaf wal Mukhtalaf10
dan kitab-kitab al-Musytabih11 .
7. Apabila perawi itu adalah seorang
sahabat atau diduga sebagai seorang sahabat, maka merujuk kepada kitab-kitab
Shahabah12 dan kitab-kitab
al-Maroosil13
8. Apabila perawi tersebut berkunyah
maka merujuk kepada kitab-kitab al-Kuna14
dan apabila berlaqob maka merujuk kepada kitab-kitab al-Alqoob15.
9. Apabila tidak memungkinkan untuk
membedakan seorang perawi dengan selainnya, maka apabila para perawi ini –atau
dua perawi yang serupa- adalah perawi tsiqoot maka sanadnya shahih dengan
mempertimbangkan syarat-syarat lainnya di dalam penshahihan hadits dan apabila perawi
ini dho’if maka sanadnya juga dha’if. Namun apabila sebagian perawi ini dha’if
(dan sebagiannya tsiqot, pent) maka bertawaqquf (mendiamkan)16 di dalam penshahihan sanad sampai diteliti
apakah riwayat ini memiliki mutabi’ (penyerta) atau Syaahid? Akan datang
perinciannya di dalam Cara Kedua –insya Allohu Ta’ala-.
Kedua : Mengetahui keadilan (’adalah) seorang perawi: yang demikian ini bisa dengan
kemasyhuran perawi atas sifat ’adalah-nya atau bisa juga dengan penegasan
seorang imam ”mu’tabar” atas sifat ’adalah-nya, dan yang demikian ini dengan
syarat seorang perawi tidak memiliki sesuatupun yang dapat menghilangkan sifat
’adalah-nya.
Apabila seorang perawi tidak masyhur akan keadilannya
dan tidak satupun dari ulama mu’tabar mentsiqohkannya, maka ada beberapa
keadaan :
1. Sejumlah perawi tsiqot meriwayatkan
darinya dan tidak ada riwayat yang datang darinya diingkari maka ia tsiqoh, dan
hal ini semakin diperkuat apabila ia termasuk thobaqot tabi’in senior atau
pertengahan.
2. Riwayat al-Bukhari dan Muslim pada
seorang perawi (otomatis) adalah ta’dil atasnya.
3. Terangkatnya status majhul ’ain-nya
dengan riwayat seorang tsiqoh atau dua orang perawi darinya17.
4. Apabila seorang majhul meriwayatkan
hadits yang maudhu’ (palsu) atau munkar dan tidaklah ditemukan di dalam
sanadnya adanya penyerta yang mengkonfrontasikannya, maka perawi ini dituduh
al-Majhul biuhdatihi (tidak diketahui status kelemahannya). [Lihat Miizanul
I’tidaal (II/103), (III/91) dan (IV/21).
5. Apabila seorang imam –diketahui
bahwa imam ini tidaklah meriwayatkan melainkah hanya dari tsiqoh- meriwayatkan
dari seorang perawi, maka ini merupakan tautsiq (pentsiqohan)-nya terhadap
perawi itu dan penghukuman akan ke-’adalah-annya menurut imam tersebut.
6. Penshahihan seorang imam mu’tabar
terhadap suatu sanad hadits dihitung sebagai pentsiqohan terhadap seluruh
perawinya.
Ketiga : Mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi.
Untuk mengetahui sifat dhabit seorang perawi ada dua
cara, yaitu :
·
Cara Pertama
: Adanya tautsiq para imam terhadap seorang perawi.
·
Cara kedua :
Menelusuri riwayatnya dan menelitinya, lalu membandingkannya dengan riwayat
para tsiqot huffazh. Apabila yang dominan adalah istiqomah (kesesuaian) dan
muwafaqoh (keselarasan) maka perawi tersebut adalah tsiqoh dan apabila yang
dominan adalah mukholafah (penyelisihan) dan munkaraat maka perawi tersebut
adalah dha’if dan matruk (ditinggalkan). Namun apabila didapatkan bahwa
riwayatnya ada yang mukholafah namun yang dominan adalah keselarasannya, maka
ia adalah perawi yang shoduq dan husnul hadits (haditsnya hasan)18.
Di sini ada 9 hal di dalam
menghukumi seorang perawi, yaitu :
1.
Mengumpulkan
pendapat-pendapat ulama yang membicarakan perawi tersebut.
2.
Menguatkan
(Ta’akkud) keshahihan penisbatannya kepada mereka19.
3.
Mengetahui
imam hadits yang dipandang pendapatnya (mu’tamad) dan yang tidak dipandang20.
4.
Mengetahui
imam yang berbicara tentang seorang perawi, apakah ia seorang murid perawi,
ataukah sesama penduduk negeri yang sama, atau seorang yang hidup semasanya
(sahabat) ataukah orang yang belakangan darinya.
5.
Mengetahui
derajat imam (yang membicarakan perawi), apakah termasuk mu’tadil (pertengahan
di dalam menilai perawi), mutasaahil (terlalu lunak di dalam menilai perawi)
atau mutasyaddid (terlalu ketat di dalam menilai perawi).
6.
Mengetahui
sebab-sebab Jarh dan Ta’dil apabila ada.
7.
Perincian
jarh atau naqdh-nya (bantahan yang menggugurkan penilaian) seorang mu’addil
(ulama yang menta’dil).
8.
Mengetahui
maksud-maksud para imam dari lafazh-lafazh, ungkapan-ungkapan dan harokaat
mereka yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil21.
9.
Menjama’
(mengkompromikan) dan mentarjih (menguatkan salah satunya) apabila pendapat
para imam saling kontradiksi di dalam menilai seorang perawi (Kesimpulan
pendapat terhadap perawi).
Keempat : Mengetahui hubungan
seorang perawi dengan syaikhnya, hal ini memiliki beberapa gambaran :
1.
Apabila
syaikhnya termasuk perawi yang mukhtalith (tercampur-baur hafalannya) atau
taghoyar (berubah) dengan perubahan yang mempengaruhi riwayatnya, maka dilihat
apakah perawi tersebut mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya
ataukah setelahnya? Apabila perawi ini mendengar darinya sebelum ikhtilath atau
taghoyar-nya, dan syaikh ini asalnya maqbul (diterima) riwayatnya maka diterima
riwayatnya. Apabila perawi ini mendengar darinya setelah ikhtilath atau
taghoyar-nya maka ditolak riwayatkan dan dihukumi sanadnya dha’if. Apabila
tidak diketahui apakah mendengarnya perawi dari syaikhnya ini sebelum ikhtilath
ataukah setelahnya, atau mendengar darinya sebelum ikhtilath dan setelahnya dan
tidaklah dapat dibedakan sima’ (mendengar)-nya dari syaikhnya, maka ditolak
riwayatnya dan dihukumi sanadnya dha’if22.
Contohnya : ’Atho` bin as-Saa`ib perawi yang tsiqoh
namun mukhtalith, meriwayatkan darinya Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri dan Hammad
bin Zaid sebelum ikhtilath-nya, dan meriwayatkan darinya Jarir, Khalid bin
‘Abdillah dan Ibnu ‘Aliyah setelah ikhtilath-nya, serta meriwayatkan darinya
Hammad bin Salamah sebelum dan setelah ikhtilath-nya.
2.
Mengetahui
perihal perawi beserta syaikhnya, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan)
gurunya ataukah tidak? Apabila ia dha’if maka sanadnya otomatis dha’if, seperti
riwayat Sufyan bin Husain al-Wasithi dari az-Zuhri23.
3.
Mengetahui
perihal perawi terhadap suatu penduduk negeri, apakah dia dha’if di dalam
(periwayatan) mereka ataukah tidak? Apabila ia dha’if di dalam periwayatan
mereka sedangkan dia meriwayatkan dari mereka maka sanadnya dha’if, sebagaimana
riwayat Isma’il bin ‘Iyasy dari penduduk Hijaz, maka riwayatnya dha’if24.
4.
Mengetahui
periwayatan perawi terhadap suatu penduduk negeri apabila mereka mengambil
periwayatan darinya, apakah mereka (penduduk negeri) adalah dhu’afa` di dalam
(periwayatan) darinya ataukah tidak? 25
Apabila mereka (penduduk suatu negeri) lemah di dalam (periwayatan) darinya
sedangkan mereka meriwayatkan darinya maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat
penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad al-Khurosani, maka riwayatnya dha’if.
Kelima : Mengetahui ittishol (bersambungnya) sanad
dari inqitho’ (keterputusan)-nya, dalam hal ini ada 7 keadaan :
1.
Apabila
rijaal (para perawi) sanad adalah tsiqoot dan mereka menegaskan secara tegas
akan sima’ (mendengar)-nya, atau dengan yang dihukumi dengannya maka sanadnya
muttashil (bersambung)26.
2.
Apabila
sanadnya dengan ‘an’anah atau semisalnya, maka diperiksa apakah perawi itu
sezaman dengan syaikhnya ataukah tidak, apabila tidak sezaman dengan syaikhnya
maka sanadnya munqothi’ (terputus).
3.
Apabila
seorang perawi sezaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu
dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila ia tidak bertemu
syaikhnya maka sanadnya munqothi’. Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka
hukum asal dua perawi yang sezaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak
didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan
oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia
belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau
perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari
hadits).
4.
Apabila
seorang perawi bertemu dengan syaikhnya, maka diperiksa apakah ia mendengar
darinya ataukah tidak mendengar ataukah tidak diketahui akan sima’
(mendengarnya)? Apabila perawi itu belum pernah mendengar dari gurunya maka
sanadnya munqothi’. Apabila tidak diketahui maka hukum asalnya adalah bertemu
dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan
ketiadaan mendengar.
5.
Apabila
seorang perawi mendengar dari gurunya, maka diperiksa apakah perawi itu
termasuk mudallis ataukah tidak? Apabila bukan seorang mudallis maka sanadnya
muttashil.
6.
Apabila
perawi itu adalah mudallis dan meriwayatkan dengan ‘an’anah atau semisalnya
dari syaikh yang ia mendengar darinya atau yang dihukumi perawi itu mendengar
darinya, (diperiksa) : Apabila perawi itu jarang melakukan tadlis seperti Abu
Qilabah ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi atau tidak banyak (sedikit) melakukan
tadlis seperti Qotadah, A’masy dan Abu Ishaq al-Subai’i maka dihukumi sanadnya
muttashil selama tidak jelas adanya khilaf (pendapat yang menyelisihi)-nya. Apabila
perawi itu termasuk yang sering melakukan tadlis seperti Ibnu Juraij terhadap
periwayatan selain ‘Atho`, atau seperti Baqiyah bin Walid, maka bertawaqquf
(mendiamkan) atas status ittishal-nya sanad dan dihukumi dengan dha’if sampai
menjadi jelas keadaan sanad dengan adanya jalan-jalan riwayat lainnya.
7.
Apabila
perawi sezaman dengan syaikhnya dan memungkinkan bertemu dan mendengar darinya
namun tidak diketahui ia mendengar darinya, namun ia mayshur (terkenal) dengan
melakukan irsal maka sanadnya dihukumi dengan munqothi’. Namun apabila ia tidak
masyhur melakukan irsal maka sanadnya muttashil lagi shahih selama tidak datang
indikasi yang menjelaskan ketiadaan mendengarnya.
Hasil (Kesimpulan) Cara Pertama :
Apabila
suatu sanad selamat dari keseluruhan ‘ilal (cacat/penyakit) yang zhahir
(tampak), telah tsabat (tetap) akan sifat ’adalah dan dhabit para perawinya,
dan telah shahih akan sima’ (mendengar)-nya perawi antara satu dengan lainnya,
maka sanadnya shahih secara zhahir.
Apabila
didapatkan sebuah ’illah (cacat) dari cacat-cacat zhahir (di atas) maka
sanadnya ditolak tidak diterima.
Apabila
kedha’ifan di dalam sanad lebih dekat dan memiliki kemungkinan (shahih) maka
akan menjadi sholih (baik) dengan mutaba’at (penyerta) dan syawahid.
II.
Cara Kedua: Menghukumi Sanad secara
bathin
Pertama : Cara pertama diaplikasikan terhadap
sanad hadits yang dikehendaki penghukuman atasnya secara cermat.
Kedua : Dihimpun jalan-jalan hadits yang satu dari Mazhoonni
(sumber perkiraan)-nya.
1. Dari sahabat itu sendiri, akan
diketahui al-Mutaba’ah dan al-Mukholafah, diketahui yang syadz dan illat.
2. Dari sahabat yang meriwayatkan
hadits itu sendiri –apabila ada pada mereka atau salah seorangnya- maka
termasuk syawahid, dan dapat dihubungkan dengannya hadits-hadits mursal,
mu’dhol, mauquf dan maqthu’ yang dihukumi marfu’ atasnya. Untuk hadits yang
dapat menjadi shalih karena syawahid memiliki syarat, yang penting diantaranya
adalah : hendaknya hadits itu tidak terlalu dha’if (syadid), tidak syadz dan
tidak munkar. Dan diterapkan cara pertama untuk setiap sanad mutaba’aat dan
syawaahid serta mukholafaat. Peringatan : Takhrij itu memiliki
jalan-jalan yang diketahui perinciannya dari sumber perkiraannya.27
Ketiga : Menghimpun pendapat-pendapat para
imam ahli hadits dan illat hadits28
seperti Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Abu Dawud,
al-Bukhari, at-Turmudzi, an-Nasa`i, ad-Daaruquthni, al-Khothib al-Baghdadi,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Rojab, al-Hafizh al-Iroqi,
Ibnu Hajar, Ibnu Mulaqqin, Ahmad Syakir, al-Albani, dan selain mereka terhadap
thuruq (metode-metode) yang dihimpun hingga menjadi mudah bagi anda untuk
memahami metode para imam ahli hadits di dalam naqd (mengkritik hadits) dan
kaifiyat (cara) di dalam menghukumi sanad-sanad hadits, dan hingga anda dapat
memetik faidah dari pendapat-pendapat mereka mengenai masalah yang sulit atas
anda, dan juga supaya anda dapat mengetahui kapasitas kelemahan diri anda di
hadapan para imam yang ahli lagi mendalam ilmunya.
Keempat : Ini merupakan cara kedua yang global dan memerlukan
tafshil (perincian) dan tahrir (penegasan istilah), mudah-mudahan masalah ini
dapat dibahas dalam waktu dekat –insya Alloh Ta’ala-.
Kelima : Ketahuilah, bahwa menghukumi suatu hadits adalah
perkara yang paling sulit dan rumit, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali
hanya ulama ahli hadits senior. Maka berhati-hatilah di dalam penghukuman
hadits dan janganlah tergesa-gesa. Jadikanlah apa yang saya tulis ini adalah
suatu pelatihan dan pembelajaran saja bagi anda sampai anda menjadi mantap di
dalam ilmu hadits. Perbanyaklah membaca buku-buku mushtholahul hadits, ilalul
hadits, biografi para perawi dan biografi para imam, semoga Alloh memberikan
taufiq-Nya atasku dan atas anda kepada apa yang Ia cintai dan Ridhai.
والله أعلم
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Hanya Allohlah yang lebih tahu.
Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad,
kepada keluarga dan sahabat beliau semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.